Komitmen ESG Indika Energy di Masmindo Dwi Area: Janji Manis, Realita Tragis?

Luwu, Caber.id – Sebagaimana pepatah lama: “Mudah menjanjikan langit, tapi sulit menjaga tanah.” Klaim megah tentang ESG ini tampaknya belum berpijak kuat di bumi Latimojong.
“Kami berkomitmen terhadap prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), demi mencapai net-zero emissions pada 2050,” begitu kata Arsjad Rasjid, tokoh utama di balik PT Indika Energy, induk perusahaan dari Masmindo Dwi Area, pengelola tambang emas di pegunungan Latimojong, Kabupaten Luwu.(Pernyataan dikutip dari: arsjadrasjid.com, 10 Oktober 2024, diakses 24 April 2025).
ESG: Antara Standar Global dan Panggung Lokal
Secara global, ESG telah menjadi standar emas dalam menilai kelayakan suatu perusahaan, terutama di mata investor internasional. Di Indonesia, meski regulasi ESG belum menyatu dalam satu payung hukum tunggal, prinsip ini dapat dirujuk dari berbagai regulasi penting, seperti:
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
- UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
- POJK No. 51/POJK.03/2017 tentang Keuangan Berkelanjutan.
Sayangnya, sejauh ini Masmindo Dwi Area belum pernah melibatkan auditor independen ESG dalam perencanaan operasionalnya. Sebuah kealpaan kecil? Atau isyarat bahwa ESG lebih banyak dibicarakan dalam seminar, daripada diterapkan di lapangan?
Uji Lapangan: Latimojong, Dari Hutan Lindung ke Lahan Tambang
Area konsesi Masmindo mencakup 14.390 hektar di hulu pegunungan Latimojong, jantung ekologis Kabupaten Luwu, yang menjadi sumber air bagi dataran rendah di wilayah Larompong hingga Bua Ponrang (Bupon).
Kini, rencana penambangan dengan metode open pit mining alias penambangan terbuka mengancam akan membelah punggung Latimojong. Tentu, bukan dengan sayatan halus, tapi luka terbuka yang memampangkan wajah pengabaian atas ekosistem tropis.
WALHI Sulawesi Selatan dalam risetnya menyebutkan:
“70% penyebab turunnya tutupan hutan Latimojong berasal dari aktivitas tambang emas, sisanya 30% dari pembukaan lahan warga.”
(Sumber: WALHI Sulsel, 2024).
Banjir, Longsor, dan Catatan yang Dianggap Angka
Dalam rentang waktu setahun terakhir tercatat 14 warga Luwu tewas akibat banjir bandang (2024) serta 2 warga meninggal karena longsor di area konsesi Masmindo (Januari 2025).
Namun, setiap tragedi kerap diposisikan sebagai “force majeure”. Hujan lebat kembali dituduh sebagai biang keladi. Seolah kita sedang menyaksikan naskah lama yang diputar ulang seperti hutan hilang, air mengamuk, rakyat jadi korban, dan perusahaan tetap mengantongi untung.
Ilham Alimuddin, Kepala Pusat Penelitian Kebencanaan Universitas Hasanuddin, mengonfirmasi:
“Kabupaten Luwu menempati posisi pertama Indeks Risiko Bencana di Sulawesi Selatan.”
(Sumber: Antara, 2 Juni 2024).
Menyingkap ESG Washing
Dunia mengenal istilah “ESG Washing” seni menyulap laporan perusahaan agar tampak ramah lingkungan dan sosial, meski kenyataannya sebaliknya. Sayangnya, seni ini tampaknya telah menjadi cabang industri tersendiri.
Apakah Masmindo termasuk di dalamnya?
Apakah mereka mempublikasikan data kerusakan lingkungan dalam laporan tahunannya?
Apakah keberadaan aparat keamanan saat demonstrasi warga bagian dari “ramah sosial”?
Apakah upah pekerja mereka mencerminkan penghargaan terhadap hak asasi manusia?
Untung Sebelum Menambang: Uang Mengalir, ESG Menguap?
Sebelum batu pertama ditambang, Indika Energy sudah menangguk untung.
Kucuran dana dari bank BUMN:
USD 300 juta (Rp 4,64 triliun) dari Bank Mandiri & BNI (2024).
USD 250 juta (Rp 3,75 triliun) tambahan di Februari 2025.
Total: Rp 8,39 triliun, dana segar yang diperoleh di atas tanah yang belum digali. Mungkin ESG hanyalah label manis di proposal pinjaman.
Negara (Pura-pura) Tidak Tahu
Sayangnya, pemerintah daerah lebih sibuk menghitung angka kemiskinan daripada membaca denyut luka rakyat. Ketika bencana datang, BPBD seperti biasa turun tangan membagikan mie instan, mencatat jumlah korban, dan menyiapkan laporan untuk dikirim ke Jakarta.
Padahal, banjir bukan sekadar urusan dapur. Ia adalah akumulasi dari salah urus ruang dan diamnya negara saat modal mengobrak-abrik alam.
Refleksi: Sawerigading Tak Pernah Tidur
Luwu dikenal sebagai tanah warisan Sawerigading, figur simbolik dari kearifan dan keberanian. Maka pertanyaan pentingnya:
Apakah kita rela tanah leluhur ini dikoyak demi angka-angka keuntungan yang tak pernah sampai ke meja makan rakyat?
Sejarah telah mencatat bahwa tanah yang dicabik tanpa restu, selalu menuntut balas—entah melalui air, tanah, atau luka yang diwariskan lintas generasi.
Oleh: Kahar Agung Kh.SH (Demisioner Sekjend PB IPMIL RAYA)