Ledakan di Punggung Pulau: Ketika Gunung Latimojong Jadi Projek Tambang Raksasa

Syarwan
Kamis, 19 Juni 2025 10:16 - 994 View

Luwu, Caber.id – Dulu ia jadi benteng budaya dan penjaga air, kini diubah jadi lubang raksasa pakai dinamit. Negeri ini memang jenius kalau soal mengorbankan masa depan. Bayangkan ini: sebuah gunung suci di jantung Sulawesi, tempat roh-roh leluhur diyakini bernaung, sumber dari sungai-sungai yang menghidupi ratusan ribu jiwa, kini dipasangi dinamit.

Namanya Gunung Latimojong, atap Sulawesi yang selama ribuan tahun berdiri gagah sebagai benteng alam antara Selat Makassar dan Teluk Bone. Tapi seperti kata pepatah modern: “Kalau bisa dijadikan tambang, kenapa harus dijaga?. Dan perkenalkan para pemain utamanya: PT Indika Energy melalui anak usahanya PT Masmindo Dwi Area. Mereka tidak sendirian dua raksasa pertambangan nasional, Petrosea dan Macmahon, turut bergandengan tangan untuk proyek kolosal ini. Metodenya? Open-pit mining alias bikin kawah emas pakai bom.

Gunung Sakral yang Jadi Lubang Bisnis

Dulu, gunung ini tempat suci. Masyarakat adat Toraja, Luwu, Enrekang menjadikannya titik spiritual tempat roh leluhur menuju “puya”. Kini, barangkali arwah-arwah itu harus mengantri di BPJS Roh menunggu rehabilitasi spiritual akibat trauma ledakan.

Latimojong juga bukan gunung sembarangan. Ia rumah dari hutan hujan tropis, ekosistem langka, dan sumber air dari Sungai Saddang, Rongkong, dan Suso yang banyak menghidupi ribuan hektar sawah dari Luwu hingga Wajo.

Tapi, siapa yang butuh air kalau bisa punya emas, kan?

Ledakan Demi Ledakan: Bukan Petir, Tapi Bom Tambang

Dalam proses pembukaan tambang emas, Masmindo menjalankan metode blasting peledakan batu dengan dinamit. Suaranya? Menggelegar hingga ke desa-desa, menggetarkan rumah warga dan mengganggu ekosistem liar. Suatu saat pada malam hari akan terdengar gemuruh, bukan lagi tanda hujan, tapi mungkin sinyal bahwa martabat alam Sulawesi sedang dihancurkan.

Dan jangan salah, dampaknya bukan hanya bunyi dan debu. Mari kita lihat enam bencana yang mungkin sedang kita biarkan terjadi secara sukarela:

1. Getaran dan Kebisingan: Rumah Retak, Hutan Bubar Jalan

Peledakan menghasilkan getaran hebat. Rumah-rumah warga mungkin akan merasakan gempa buatan. Satwa pun hengkang. Burung-burung endemik, mungkin kini sedang mempertimbangkan migrasi ke kantor Dinas Kehutanan—jika mereka bisa baca peta.

2. Debu dan Gas Beracun: Paru-Paru Jadi Korban

Debu halus dari ledakan—terutama silika—bisa menyebabkan penyakit paru seperti silikosis. Tambah gas NOx dari peledakan dan emisi kendaraan tambang? Latimojong bisa berubah dari paru-paru hijau menjadi ruang ICU terbuka.

3. Pencemaran Air: Sungai Suso Tak Lagi Jernih

Air yang dulu bening, kini terancam keruh dan beracun. Limbah peledakan seperti ammonium nitrate bisa larut ke air tanah dan sungai. Warga akan mulai merasakan gatal-gatal setelah mandi. Tapi penyebabnya tetap “misterius”—karena siapa yang mau jujur kalau air bersih dijadikan collateral untuk emas?

4. Longsor dan Retakan: Bencana Diundang Secara Resmi

Getaran dari peledakan memperlemah struktur tanah. Februari 2022, longsor terjadi di Ranteballa dan Ulusalu. Tapi apakah kita belajar? Tentu tidak. Karena seperti kata motivator negeri ini: “Kita tidak anti gagal, kita anti refleksi.”

5. Hancurnya Keanekaragaman Hayati: Fauna Punah demi Laporan Keuangan

Latimojong adalah habitat bagi spesies langka. Tapi kini, habitat mereka dipatok, ditebang, dan diledakkan. Satwa kehilangan rumah. Tumbuhan langka kehilangan akar. Dan kita kehilangan malu.

6. Konflik Sosial: Warga Hanya Jadi Penonton

Penggusuran lahan, hilangnya pohon keluarga, dan minimnya partisipasi warga membuat tambang ini terasa seperti proyek alien datang dari langit, asing, dan merusak. Padahal nilai tambang triliunan rupiah. Tapi yang tersisa cuma debu dan janji pelatihan kerja.

Kemajuan ala Kapital: Dari Gunung ke Lubang

Jika semua rencana berjalan mulus, gunung tertinggi Sulawesi itu akan berubah jadi lubang emas menganga. Mungkin 30 tahun lagi, anak-anak akan bertanya:

“Ayah, apa itu Latimojong?”

Dan sang ayah membuka Google Earth, menunjuk bekas kawah besar, dan berkata:

“Dulu itu gunung. Tapi kita butuh ponsel dan cincin kawin, Nak.”

Saatnya tahu dan bertindak, ini bukan sekadar gunung. Ini sumber air, tempat tinggal roh leluhur, benteng budaya, dan rumah bagi flora-fauna Sulawesi. Maka kita tak hanya bicara tentang tambang, namun kita bicara tentang:

Kehidupan yang dihancurkan

Air yang dikorbankan

Nilai budaya yang dikubur bersama batu

Maka mari kita tuntut:

Dokumen AMDAL dibuka ke publik

Metode blasting dievaluasi dan diawasi ketat

Transparansi limbah dan emisi ditunjukkan ke masyarakat

Keterlibatan warga dalam pemantauan dan pengambilan keputusan

Gunung Tak Bisa Demo, Tapi Kamu Bisa

Latimojong tidak bisa menulis petisi. Sungai tak bisa menggelar orasi. Tapi manusia bisa.

Jangan biarkan gunung terakhir kita berubah jadi lubang untuk kepentingan segelintir orang. Karena emas bisa ditambang lagi di tempat lain. Tapi Latimojong? Hanya ada satu.

Dan kalau kita biarkan, kita akan kehilangan lebih dari sekadar gunung, melainkan kita akan kehilangan warisan budaya.

 

Oleh: Kahar Agung,Kh.SH (Demisioner Sekjend. PB IPMIL RAYA)