Membumikan Hukum, Menjaga Akal Sehat Demokrasi

Syarwan
Sabtu, 14 Juni 2025 13:39 - 32 View

Palopo, Caber.id – Saya membaca dengan saksama opini yang ditulis oleh Walter Notteboom, yang mengangkat soal keadilan substantif dan peran SILON dalam Pilkada Palopo. Sebagai sesama anak Palopo, saya menghormati semangat tulus yang tertuang di sana.

Namun, dalam spirit demokrasi dan tanggung jawab intelektual, saya merasa perlu mengoreksi beberapa kekeliruan mendasar dalam logika dan narasi yang dibangun, utamanya soal posisi KPU dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Jangan Bungkus Pelanggaran dengan Puisi

Walter, memulai opininya dengan kejujuran yang simpatik, mengaku bukan cendekiawan, hanya anak rantau yang risau pada tanah kelahiran. Tapi justru karena kejujuran itu, publik pantas berharap pada ketepatan fakta. Maka, ketika opini tersebut memuji KPU karena “tidak merendahkan hukum dengan algoritma semata”, kita perlu bertanya, “Apakah mematuhi putusan MK berarti merendahkan hukum?”

Putusan MK No. 168/PHPU.WAKO-XXIII/2025 secara eksplisit menyatakan agar tidak dilakukan verifikasi ulang terhadap dokumen pencalonan. Maka ketika KPU Palopo justru melakukan hal itu setelah putusan dibacakan, itu bukan soal algoritma, melainkan pelanggaran konstitusional. Ini bukan puisi tentang cinta kampung halaman, tapi fakta tentang penyelenggara pemilu yang melawan hukum.

Due Process Bukan Alasan untuk Membangkang MK

Argumen bahwa “substansi lebih penting dari prosedur” adalah narasi lama yang selalu dipakai saat prosedur dilanggar. Padahal dalam negara hukum, substansi dan prosedur adalah dua sisi dari keadilan yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa prosedur, keadilan akan liar dan manipulatif. Dengan prosedur yang dilanggar, semua pihak bisa mengaku ‘niat baik’ meski melanggar aturan.

Jika semua kesalahan administratif bisa dimaafkan hanya karena “dokumen sebenarnya ada”, maka untuk apa ada sistem pencalonan, batas waktu, dan tahapan verifikasi? Prosedur bukan musuh substansi, tapi jaring pengaman bagi integritas demokrasi. Justru prosedur yang adil adalah jalan menuju substansi yang bermartabat.

Keliru Menggunakan PKPU, Keliru Menilai Proses

Dalam tulisannya, Walter menyandarkan sebagian argumen pada PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang pencalonan kepala daerah. Ini adalah kekeliruan faktual yang tidak bisa dianggap remeh. Pilkada 2024 tidak lagi menggunakan PKPU tersebut karena peraturan itu sudah dicabut dan digantikan oleh PKPU Nomor 8 Tahun 2024.

Di dunia hukum, dasar regulasi bukan sekadar formalitas semata, melainkan fondasi argumen. Maka ketika fondasinya salah, bangunan opini yang dibangun di atasnya pun goyah. Ibarat mengukur arus sungai hari ini dengan peta lima tahun lalu, tentu hasilnya meleset dan menyesatkan.

Penting untuk diingat bahwa PKPU 8 Tahun 2024 tidak hanya memperbarui ketentuan teknis, tapi juga merefleksikan konteks politik, teknologi, dan pemilihan terbaru. Mengabaikan regulasi yang sah dan mutakhir justru menunjukkan kurangnya kehati-hatian dalam membentuk opini publik.

Karena itu, saya mengajak semua pihak, apalagi yang menulis di ruang terbuka, untuk bersandar pada data dan hukum yang berlaku, bukan pada romantisme atau regulasi usang. Demokrasi tidak akan tumbuh dari opini yang baik hati tapi salah dasar, apalagi jika kekeliruan itu memberi legitimasi pada pelanggaran.

Menggugat Bukan Berarti Haus Kekuasaan

Walter menggambarkan pihak yang menggugat ke MK sebagai pihak yang “didorong ambisi kekuasaan”. Padahal gugatan ke MK adalah hak hukum yang sah, bukan tanda kerakusan. Jika seseorang merasa dicurangi dalam kontestasi, saluran konstitusionalnya memang di MK, bukan di opini media.

Jangan biasakan menyudutkan upaya hukum sebagai ambisi pribadi. Justru yang berbahaya adalah ketika lembaga penyelenggara pemilu melampaui kewenangan dan menabrak putusan lembaga yudikatif tertinggi, lalu dibela atas nama ‘cinta Palopo’.

SILON Tidak Berdiri Sendiri, Tapi Tidak Bisa Diabaikan

Memang benar bahwa SILON adalah alat bantu. Tapi dalam konteks pencalonan kepala daerah, SILON adalah bagian dari sistem legal yang wajib diikuti. Kesalahan dalam SILON bukan sekadar error teknis seperti lupa isi Google Form, tapi bisa berdampak hukum jika berulang, terlambat, atau tidak diperbaiki sesuai prosedur.

Dan jangan lupa, verifikasi dan koreksi dokumen sudah ditutup saat PSU ditetapkan. Tidak ada dasar hukum untuk membuka kembali tahapan itu setelah MK memutus.

Saya memahami niat baik yang ingin disampaikan. Tapi niat baik tidak boleh dijadikan pembenaran atas penyimpangan hukum. Kita semua ingin demokrasi yang manusiawi, tapi demokrasi tidak bisa dibangun dari ketidaktaatan dan tafsir emosional terhadap aturan.

Sebagai anak muda Palopo, saya juga suka makan kapurung, durian, dan ikan bakar. Tapi itu tidak boleh membuat kita lupa bahwa demokrasi adalah sistem yang harus dijaga dengan akal sehat, bukan sekadar rasa haru. Jika cinta pada Palopo benar-benar tulus, maka taatilah hukum, hormatilah putusan, dan jagalah kepercayaan rakyat kepada institusi demokrasi.

Karena kampung halaman bukan hanya sekadar tempat lahir, tapi juga tempat keadilan harus ditegakkan, bahkan ketika itu tidak menguntungkan orang yang kita cintai.

 

Oleh: Arzad, Sekretaris Jenderal Gerakan Anak Muda Palopo (AMPO)