Munif Chatib dan Bintang yang Sering Kita Abaikan di Sekolah

Caber.id – Barangkali kita pernah melihat anak-anak yang gemar menggambar, namun kerap kali dimarahi karena nilai matematikanya yang rendah. Atau, ada anak-anak yang punya rasa empati yang tinggi, suka membantu temannya, tapi terus dianggap malas karena tak pandai menghafal rumus. Sayangnya, cerita seperti itu bukan fiksi. Ini adalah kisah nyata. Dan itu masih dapat kita jumpai di beberapa sekolah yang ada.
Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan Indonesia seolah hanya mengakui dua jenis anak pintar: yang mahir berhitung dan yang pandai berbicara. Selain dari itu? Sering dianggap biasa-biasa saja. Bahkan tak jarang, dianggap bodoh.
Tapi Munif Chatib datang membawa kacamata baru dalam melihat anak:
Semua anak itu cerdas. Hanya, jenis kecerdasannya yang berbeda-beda.
Munif adalah salah satu praktisi pendidikan yang memperkenalkan teori Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk) kepada masyarakat luas di Indonesia. Gagasan ini pertama kali dikembangkan oleh psikolog Harvard, Howard Gardner. Namun, melalui buku-bukunya seperti “Sekolahnya Manusia” dan “Gurunya Manusia”, Munif menyampaikan gagasan itu dengan cara yang sederhana dan membumi.
Menurut Munif, ada delapan jenis kecerdasan. Kecerdasan matematik-logis, linguistik, visual-spasial, kinestetik, musikal, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Setiap anak memiliki kombinasi unik dari kecerdasan ini.
“Setiap anak adalah bintang,” begitulah pendakuan Munif Chatib. Tugas orang tua, guru, lingkungan adalah membantu mereka menemukan sinarnya sendiri. Bukan memadamkan cahaya mereka hanya karena tidak sesuai dengan standar “anak pintar” versi sekolah.
Dalam pendekatannya, Munif mendorong para tenaga pendidik untuk menjadi lebih peka dan fleksibel. Guru bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, melainkan fasilitator yang mendampingi anak-anak menemukan potensi terbaiknya. Ia juga mengingatkan bahwa nilai rapor hanyalah salah satu bagian kecil dari proses belajar.
Munif bahkan mengajak sekolah untuk membuat asesmen atau penilaian yang lebih manusiawi, yang tidak hanya menilai dari segi hafalan, tetapi juga karakter, kerjasama, kreativitas, dan empati. Karena pada dasarnya, kita tidak sedang mendidik robot, tapi mendidik manusia.
Gagasan yang dibangun Munif bukan hanya sekedar teori. Ia telah mempraktikkannya langsung di berbagai sekolah yang ia dampingi. Walhasil? Banyak anak yang dulunya dianggap “bermasalah” justru mulai percaya diri dan berprestasi, karena mereka belajar dengan cara yang sesuai dengan keunikan mereka sendiri.
Saat ini, sistem pendidikan kita masih punya banyak pekerjaan rumah. Namun Munif Chatib telah memberi kita bekal penting. Bahwa pendidikan harus adil, inklusif, dan memanusiakan. Bahwa tidak ada anak yang bodoh, hanya saja kita belum cukup sabar dan kreatif untuk mengenali keceredasanya, mengenali potensi yang dimilikinya.
Tidak ada anak yang bodoh, semua anak adalah bintang. Kita hanya perlu membuka langitnya, sedikit lebih bersabar dalam mengembangkan potensinya.
Penulis: Hasrul Sunny
Pegiat Literasi dan Kepala Suku Rumah Baca Akkitanawa