Takjil Ramadan: Antara Nilai Budaya dan Gerak Ekonomi

Caber.id – Pemandangan khas Ramadan menjelang buka puasa mulai tampak di berbagai sudut kota. Lapak-lapak takjil berjejer di pinggir jalan, menawarkan beragam hidangan buka puasa mulai dari es buah, kolak, hingga berbagai jenis gorengan. Takjil bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga bagian dari budaya yang terus hidup di tengah masyarakat.
Nilai Budaya
Berburu takjil menjadi momen kebersamaan, hal yang paling ditunggu banyak keluarga dan komunitas kecil. Mereka keluar rumah di sore hari untuk membeli atau bahkan sekadar menikmati suasana pasar takjil.
Kepadatan yang sesak jelang detik-detik menuju buka puasa, interaksi sosial berbagi kalangan menjadi pemandangan biasa. Berbagi hidangan daerah terpampang seolah menggelitik dahaga para penikmatnya. Hidangan khas Sulawesi Selatan seperti pisang ijo, es buah, jalangkote, atau kolak jawa seolah mencerminkan keanekaragaman kuliner dan identitas budaya lokal.
Karena inilah berburu takjil telah menjadi tradisi yang mengakar dalam kehidupan umat Muslim di bulan Ramadan. Namun, di balik tradisi yang kental ada dinamika ekonomi yang turut bergerak.
Gerak Ekonomi
Pasar takjil dadakan bermunculan di sepanjang jalan, menciptakan lapangan kerja musiman bagi banyak orang. Banyak pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mendapatkan peluang emas ini untuk meningkatkan pendapatan mereka. Di beberapa daerah, omzet pedagang takjil bisa meningkat hingga dua kali lipat dibanding hari biasa.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di kota besar, tetapi juga di pelosok daerah, menciptakan efek domino bagi perekonomian lokal. Data menunjukkan bahwa omzet pedagang takjil dapat meningkat hingga 30-50% selama Ramadan dibandingkan bulan-bulan biasa. Hal ini memberikan dorongan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat.

Potret warga yang berburu takjil di sore hari menjelang berbuka puasa. Belopa, Jum’at (07/03/2025).
Dinamika pasar takjil dadakan juga menciptakan lapangan kerja musiman bagi banyak orang, mulai dari pedagang, penjaga parkir, hingga pengemudi ojek online. Dampak ini pun terasa di industri makanan dan minuman seperti supermarket, minimarket, dan restoran yang dengan banyak cara menawarkan berbagai macam paket untuk menarik geliat konsumen.
Tak hanya itu, tren takjil juga mengalami inovasi setiap tahunnya. Para pedagang berlomba-lomba menghadirkan variasi baru guna menarik perhatian pembeli. Digitalisasi pun semakin mempermudah transaksi, dengan banyaknya penjual yang memanfaatkan platform daring untuk memasarkan produk mereka.
Peningkatan daya beli dan konsumsi masyarakat meningkat begitu pun sektor perdagangan makanan mengalami lonjakan pendapatan. Pasar takjil telah menjadi pusat ekonomi dadakan yang berhasil menggerakkan ekonomi lokal, sehingga mampu menyentuh rongga kehidupan masyarakat.
Kesimpulan
Takjil Ramadan bukan sekadar pelengkap berbuka, tetapi juga simbol kebersamaan, solidaritas sosial, dan penggerak ekonomi rakyat. Di tengah semangat berbagi dan beribadah, geliat pasar takjil menjadi cerminan bagaimana tradisi dan ekonomi bisa berjalan beriringan, menciptakan harmoni keberkahan bulan suci Ramadan.
Penulis: Syarwan.