Tom Lembong Ketuk Palu, Dunia Peradilan Kian Halu?

Opini, Caber.id – Setelah Vonis 4,6 tahun penjara dan denda Rp750 juta terkait kasus korupsi yang menjerat Thomas Trikasih Lembong, mantan Kepala BKPM sekaligus Menteri Perdagangan 2016, kini telah menjadi sorotan tajam publik.
Bukan semata karena sosoknya yang dikenal sebagai ekonom reformis, tetapi juga karena pernyataan kerasnya pasca putusan: “Sistem hukum kita halu, hidup dalam delusi dan kehilangan relevansi terhadap nilai keadilan sejati.”
Pernyataan ini segera memantik perdebatan. Bagi sebagian kalangan, ucapan Tom Lembong terdengar provokatif. Namun bagi banyak rakyat kecil yang pernah merasakan ketimpangan hukum, ini terasa seperti jeritan yang selama ini terpendam.
Fakta di lapangan seolah mengamini kritik tersebut. Praktik mafia hukum, suap aparat, kriminalisasi masyarakat miskin, hingga impunitas bagi para elite yang merugikan negara triliunan rupiah, menjadi potret buram yang terus berulang. Dalam satir publik, hukum di negeri ini kerap dianalogikan seperti barang dagangan—dapat dinegosiasikan sesuai dengan harga dan kuasa.
Mengutip filsuf ekonomi dan hukum Friedrich Hayek dalam Discourse on the Rule of Law:
“Jika hukum tidak berlaku sama bagi semua, maka itu bukan hukum, melainkan alat kekuasaan.”
Kutipan ini menjadi tamparan telak ketika melihat hukum di Indonesia yang tajam ke bawah, namun tumpul ke atas.
Kritik Tom Lembong bukan sekadar luapan emosi personal. Ia mencerminkan keresahan struktural terhadap integritas sistem peradilan kita. Suaranya mewakili suara publik yang kian kehilangan harapan terhadap keadilan yang berpihak. Ketika rakyat kecil merasa tak lagi dilindungi oleh hukum, maka sistem peradilan telah kehilangan legitimasi sosialnya.
Ironisnya, respons terhadap kritik ini kerap bersifat defensif. Alih-alih dijadikan momentum perbaikan, suara kritis justru dibungkam atau dialihkan. Padahal seperti dikatakan Mahfud MD dalam Politik Hukum di Indonesia,
“Keadilan adalah tujuan hukum. Hukum yang kehilangan keadilan hanyalah kezaliman yang dilegalkan.”
Momen ini seharusnya jadi refleksi mendalam: bahwa reformasi hukum tidak cukup dengan revisi aturan semata. Diperlukan perubahan menyeluruh mulai dari transparansi dalam seleksi hakim, penguatan lembaga pengawas independen, hingga pendidikan hukum berbasis etika dan nurani. Tanpa itu, kita hanya terus memelihara Sandiwara Keadilan.
Kita tidak butuh lebih banyak aktor di panggung hukum, tapi lebih banyak penjaga integritas yang benar-benar berdiri untuk keadilan. Bukan pidato hukum yang muluk, tapi bukti nyata bahwa hukum berpihak pada yang tertindas.
Tom Lembong mungkin hanya “mengetuk palu” lewat kritiknya. Tapi suara itu menggema, menyentak kesadaran publik. Kini, tinggal kita yang menentukan: terus hidup dalam delusi sistem hukum yang halu, atau bangkit memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya.
Oleh: Rian Suheri Akbar, S. H.